KESUKSESAN BUKANLAH KEWAJIBAN, TAPI MENCOBA UNTUK SUKSES ADALAH WAJIB

Kamis, 27 Oktober 2011

Emha Ainun Najib "Memantulkan Cahaya dengan Sastra"


Dalam kaca mata kebudayaan, Emha Ainun Najib adalah fenomena. Fenomena sastra, sosial, politik, maupun agama. Ia bukan sosok biasa yang mendambakan kemapanan, tapi dia menjalani lika-liku hdupnya dalam kesunyian di tengah-tengah hegemoni mainstream.
Daya hidupnya mampu meruang dan mewaktu ke siapa saja dan apa saja tanpa membeda-bedakan. Dia dikenal sebagai sastrawan, tapi juga budayawan, cendikiawan, pekerja dan aktivis sosial, kolumnis, pembicara dalam seminar, kiai, seniman, humoris dan lain sebagainya. Bukan definisi yang dibuatnya sendiri, Emha tampaknya telah mendobrak definisi profesi yang lazim, meniadakan “segmentasi” masyarakat dan bersedia berbagi “apa saja” dengan orang lain.
Seringkali terjadi, pagi dia mengajarkan anak-anak untuk belajar lakon, siangnya menemani mahasiswa untuk diskusi dan berdemo, terkadang bercengkrama dengan tukangbecak, sorenya bermain musim dengan kia kanjeng, malamnya bisa jadi ada meeting dengan pemimpin kenegaraan atau bercaramah keagamaan. Segala lini dilalui dengan kedalaman kecerdasanya. Tapi baginya apa yang dilakukan selama ini bukan karena tujuan apa-apa “saya menulis dan mengerjakan apa yang selama ini saya lakukan, hanyalah kewajiban saya sebagai manusia,” ujarnya.
Suatu faktor yang konsisten pada diri Emha adalah bahwa dia tidak saja melibatkan diri di wilayah gagasan dan wacana, tetapi selalu tejun ke lapangan, membaur di tengah-tengah rakyat dan menjadi bagian integral dari mereka. Gagasan dan kegiatan hidupnya selalu berdimensi sosial dan spiritual. Ini dapat dimengerti karena Emha terbiasa hidup di tengah-tengah rakyat, berkomunikasi aktif dengan mereka dan bekerja di wilayah sosial.
Menurut Kuntowijoyo bahwa dalam diri Emha terdapat kepekaan orang muda, seorang muda yang berpikir kritis, cenderung memprotes, tetapi sekaligus beragama.
Karya sastra Emha mencerminkan kepekaan ini. Dalam karya-karya tesebut kita dapat menemukan Emha sebagai aktivis sosial muda yang cenderung religius, sebuah kecenderungan yang inheren pada waktu itu pada generasi muda yang mempunyai kepekaan sosial.
Karena bagi Emha, sastra merupakan saluran ekspresi yang tak terelakkan. Ia berkata bahwa ia melakukan kegiatan sosial, kultural, politik, dan keagamaan dalam disiplin sastra.
“Tanpa bantuan sastra komunikasi saya akan sangat terbatas. Melalui sastra saya dapat menemukan berbagai format komunikasi, dan dengan cara ini saya dapat memelihara pandangan tentang kedalaman dimensi kemanusiaan sosial; dimensi ini akan menjadi dangkal kalau kita hanya memandangnya secara parsial melalui ekonomi, politik, dan khususnya birokrasi”.
Puisi-puisi, esai-esai, ceritanya pendeknya yang dimuat dimedia massa sangat menarik para pembacanya karena sifatnya yang liar, aneh tetapi logis. Wajar kalau banyak orang tatap mengtakan bahwa ia adalah penulis terbesar di negeri ini.
Pemikiran sastra dan kultural Emha mengandung banyak perdebatan dan wacana. Di tahun 1980 dia memperkenalkan istilah “sastra kontekstual” yang menolak standarisasi dan elitisisme dalam seni.
Emha menolak sikap tak demokratis para penulis yang mengaku telah mengaku nilai-nilai universal, tetapi mengutuk karya-karya yang jenis dan konteknya berbeda dari karya-karya yang mereka akui, Emha menyarankan sastra yang mencakup komitmen terhadap perjuangan untuk menegakan keadilan sosial dan peduli terhadap orang-orang yang menjadi korban pembangunan.
Dalam buku yang berjudul Jalan Sunyi Emha karangan Ian L. Betts. Emha membagi karya sastra dalam dua golongan: Pertama adalah sastra untuk sastra sendiri yang diterbitkan dalam buku-buku dan mass media, kedua adalah sastra sebagai sarana perjuangan. Emha mendukung golongan yang kedua. Menurut Emha sastra harus membebaskan rakyat.
“Sastra kami membebaskan rakyat, sastra kami bukan untuk tirani baru terhadap rakyat, sementara bentuk-bentuk tirani yang lain mengepung mereka. Di tengah-tengah situasi seperti ini sastra kami membebaskan dirinya untuk menjadi otentik dan mengendalikan tindakan memilih dan menentukan sikap. Ini berarti kami menolak untuk dikecilkan dan dipermiskan dengan kecenderungan-kecenderungan nilai dalam dan di luar sastra. Kami secara sadar menempatkan diri sendiri dalam lingkungan komitmen kepada dan solidaritas dengan rakyat dalam mengatasi masalah mereka. Ini berari kami membebaskan sastra dari kecenderungan untuk menjadi sempit dan miskin dalam hal nilai, dan kami membuka lebar-lebar cakrawala para sastrawan dan masyarakat umum dari kecenderungan kemiskinan dan penyempitan nilai”.
Maka wajar dalam karya-karya yang ditaburkan tak lepas dari nilai-nilai sosial dan religiusitas terlebih bila bicara membicarakan polotik tak lepas dari dua nilai itu. Lebih dari 800 puisi tercipta olehnya, hingga sehauh ini sudah ada beberapa karya sastra yang telah diterbitkan, taruhlah Sajak-Sajak Sepanjang Jalan 1997, Tak Mati-Mati 1978, Tuhan Aku bergurau pada-Mu 1980, Kanvas 1980, Tidur yang Panjang (tak tertanggal), Nyayian Gelandangan 1982, Untuk Tuhanku 1984, Iman Perubahan 1985-1986, Cahaya Maha Cahaya, 1988, Syair-Syair Asma’ul Husna, dan masih banyak buku-buku dan antologi-antologi lain yang tak jauh dari nilai-nilai sosial keagamaan.
Selain berupa bahasa teks yang berupa puisi, cerpen atau esai-esainya yang senantisasa disemaikan masyarakat, emha juga snantiasa memantulkan cahaya keagamaan dengan pengajian maupun dialog-dialog keagamaan yang rutin diselenggarakan diberbagai kota di Inodonesia, seperti Kenduri Cinta, Gambang Syafaat, Padhang Rembulan dan masih banyak lagi forum-forum keagamaan yang Emha tanam dengan pendekatan sastra dan agama.
Karena bagi Emha dengan cara-cara seperti forum ini, bisa memberi oase ditengah dahaga religiutas di zaman yang semakin kompleks ini, zaman yang kaya akan kegundahan.
Ya. Melalui forum ini Emha acap memadukan diskusi atau dialog keagamaan realitas sosial yang ada dengan pendekatan dan pemahaman baru yang tentunya lebih mudah difahami, merefleksikan bersama, memecahkan bersama dengan pendekatan Islam dan sosial, bukan karena apa, bukan kecenderungan-kecenderungan, tapi karena salam perdamaian. Seperti puisinya yang berjudul “Bila Batu Tergeletak di Jalan” yang di tulis dalam bukunya Ian L. Betts menuturkan bahwa:

Bila sebuah batu tergeletak di jalan
Dan ia membahayakan pemakai jalan
Anda memungutnya, dan mencari seseorang untuk membahas
Apa yang dapat kita perbuat agar bat tersebut bisa bermanfaat
Itulah islam

Islam adalah untuk menjaga kesuburan tiap sudut tanah
Untuk mengagumi gunung dan laut yang luas,
Atau sekedar untuk menyirami tanaman,
Untuk berenang air sambil bersyukur kepada Allah
Untuk atau menghirup udara
dengan kerinduan untuk bertemu dengan allah

Islam adalah, bila ada satu makhluk sedang kelaparan,
Walau ia hanya seekor anjing,
Anda merasa tidak enak karena kenyang seorang diri
Maka anda lalu belajar untuk belajat lapar,
Sebelum anda merasa layak disebut sebagai saudara oleh orang-orang lapar

Islam adalah, ketika seorang merasa haus
Bahkan ia adalah orang yang akan membunuh anda,
Anda merasakan kehausannya
Dan berbagi air dengannya

Islam adalah
Ketika anda melihat seseorang dipinggirkan dan merasa sendirian
Anda menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya

Islam adalah
Mencintai orang-orang yang membenci anda,
Danmemuji dengan bijak
Seseorang yang mengangap anda sebagai musuhnya

Islam adalah komunitas yang berdamai dengan alam,
Sungai dan dan hutan, air dan daratan, gunung dan laut
Yang mereka cintai seolah mereka isteri-isteri mereka sendiri
Manjaga kesuburannya semata dengan cinta

Islam adalah
Sebuah pemerintah yang menganggap rakyatnya sebagai seorang isteri
Saling menyayangi, bekerjasama dengan keseimbangan kekuasaan anatara yang satu dengan yang lain
Islam adalah keadaan di mana di kuat memahami pentingnya si lemah
Dan si lemah tidak menikmati kelemahan dan ketergantungannya

Salam berarti perdamaian
Islam berarti upaya mencari, mambangun dan menciptakan perdamaian
Humanitas islam berarti pengertian untuk saling memanusiakan satu sama lain
Budaya islam adalah kedamaian pikiran dan hati
Perekonomian islam berarti tak seorangpun kekurangan gizi dan tak seorangpun kelebilan gizi
Politik islam berarti demokrasi sejati dan jujur
Filosofi islam adalah keseimbangan antara hak-hak azasi dan kewajiban-kewajiban azasi manusia

Salam berarti perdamaian
Islam berarti permebasan menuju perdamaian
Islam berari kerja emansipasi menuju kehidupan yang penuh kedamaian bagi semua manusia.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons